Rabu, 11 Februari 2009

Ketika Berlomba Menembus Media!

Kita gigih berlomba-lomba menembus media. wah, barangkali kita suka kepopulerannya, suka honornya, suka pujiannya, suka tantangannya. Apalagi bila bergabung di sebuah komunitas kepenulisan. semangat terus berkobar untuk menjebol media.
Tapi ingatkah kita akan kebutuhan massa yang harus kita jamah, menunggu ide kita. ide yang menggigit, dengan kata-kata yang menggigit, semuanya serba menggigit, sehingga pembaca pun jadi TERGIGIT! :)
beberapa bulan yang lalu, saya pernah bertanya kepada Pembina Forum Lingkar Pena Wilayah Sumbar yang kebetulan satu kampung dan sudah saya anggap sebagai kakak saya sendiri, tentang mandegnya ide untuk menulis. beliau menyarankan, tulis saja apa yang ada dalam pikiran, apa yang ditemukan ketika berjalan, apa yang dilihat ketika melangkah. begitulah kira-kira yang beliau katakan.
nah sekarang, saya baru ingat. bagaimana semangat menulis mampu membunuh kepekaan perasaan kita. eits...jangan salah paham dulu. saya belum selesai! maksudnya tulisan bisa menyesatkan pemikiran dan tujuan kita. itu mah dunia yang berperan, nafsu yang mengajak, jiwa dan pemikiran jadi sasarannya.
sesungguhnya dulu sih, tidak pernah diri ini membayangkan akan masuk dalam sebuah komunitas kepenulisan seperti Forum Lingkar Pena. pernah dulu ingin masuk, tapi rasanya kok hebat betul orang-orangnya. tapi pada sebuah kesempatan yang tidak saya sia-siakan, saya mencoba mendesak ketakutan saya dengan mengikuti silaturrahim sehabis lebaran (saya tidak suka kata-kata halal bi halal). seketika jadi timbul semangat untuk menulis..menulis lagi.
tapi, di dalam hati termangu-mangu. apakah yang telah kita perbuat untuk teman-teman kita wahai mujahid pena.
sedang kita berlomba-lomba berdakwah lewat media massa (entah tujuannya mungkin selain dakwah), kita malah melupakan sesuatu yang mestinya tangan kita menggoresnya. kita melupakan komunitas yang mestinya jadi objek karya kita. wallahu 'alam individunya gimana? tapi yang gejala cuek media dakwah kampus kuat dalam intuisi saya, sampai hari ini saya terus merasakannya.
hal ini coba saya analisis sejak akhir tahun 2006. ketika itu saya masih semester 1 dan baru bergabung di sebuah buletin di keputrian LDK. tidak menyangka sebenarnya, ternyata akhwat dan ikhwan sendiri (maaf saya membahasakan mereka sesuai kalimat umum) sangat tidak care dan peduli dengan media kampus. memang tidak semua yang berbakat mengelolanya. tapi sangat aneh bila ditemukan, akhwat dan ikhwan sendiri tidak mau membeli buletin yang sudah susah payah dibuat oleh saudara mereka di
multimedia. bahkan ada yang mengatakan, "ah kok mahal sekali". kita mahasiswa, bukan? harga kertas dan percetakan sekarang melambung tinggi. tak disangka, begitu sombongnya kita.
sampai diri ini merasa kita begitu sombongnya. mungkin kita merasa ilmu kita sudah cukup banyak, sampai tidak membutuhkan buletin-buletin yang kita kira gak level dengan ilmu kita itu. boleh saja buku-buku kita buku-buku dakwah, fikih dakwah, al islam, mambina angkatan mujahid, dll
saya rasa kita perlu belajar lagi. tentang perjuangan bagaimana melahirkan media. terus terang agak tergagap dan luluh lantak rasa harapan ketika masa deadline tiba sedang tulisan dari tim redaksi belum juga masuk. memang, sangat tidak banyak yang bisa menulis. tapi kata CUKUP BANYAK membuat saya tidak habis pikir, mengapa begitu kurang yang peduli dengan media dakwah kampus.
rasanya ada mengganjal di hati, namun tak tahu mengungkapkannya seperti apa. sungguh...diri ini begitu heran (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar