Senin, 16 Februari 2009

BAHASA KEJUJURAN

Hari itu, minggu itu, setengah bulan itu, orang-orang intelek itu berseragam putih-hitam. Ada yang memakai kemeja, blus, baju kurung, dan tentunya bukan kebaya. Warnanya putih. Bawahannya juga macam-macam tapi tetap berwarna hitam. Ada apa ramai sekali mereka berkumpul mulai dari tangga lantai tiga sampai lantai dasar? Mereka berbaur dengan mahasiswa-mahasiswa asal Malaysia yang kebanyakan keturunan India itu.

Ada apa, ya? Olala…mereka asyik ngerumpiin soal ujian yang baru selesai mereka jawab. Macam-macam ekspresi yang mereka tunjukkan. Ada yang cemas takut nilai ujiannya ancur. Ada yang cuek-cuek saja. Ada yang langsung bergegas keluar dari ruang ujian, menuruni tangga, dan pulang ke kost. Adanya yang masih khusu’ membahas soal demi soal yang mereka ingat, kadang dengan suara tertahan mengetahui jawaban yang ditulis salah. Mereka, anak-anak zaman yang intelek.

Tapi selongsong peluru ucapan menembus membran timpani-ku. Menggetarkan gendang telinga kebingunganku di antara puluhan orang di gedung itu. “Eh, makasih ya, tadi udah ngasih contekan.”

Astaghfirullahal‘azhim… batinku menjerit. Mereka mengaku-ngaku kalangan intelektual. Calon pemimpin rumah sakit, pemimpin puskesmas, tenaga kesehatan, dan semua yang berbau kesehatan. Tapi apa pikiran mereka sudah mengalami disfungsi? Aku tidak tahu! Yang aku tahu, setelah itu hati ini makin jijik dengan kegembiraan dan kebingungan orang-orang di gedung itu. Mereka anak-anak intelek, punya cita-cita mendirikan jamban-jamban di daerah terisolir, mengangkat kualitas SDM administrasi rumah sakit, menggalakkan sanitasi yang sehat, memberi penyuluhan tentang diare akibat air yang tidak bersih, memfungsikan kembali posyandu-posyandu yang hampir mati.

Di suatu sudut lain di gedung yang berbeda. Masih dalam satu universitas. Calon-calon auditor yang akan memeriksa laporan keuangan perusahan itu kasak-kusuk mencontek dan memberi contekan. Orang baik seperti apa mereka yang mau memberikan contekan kepada teman-temannya? Yang jelas mereka adalah orang-orang dungu yang mengaku intelektual. Juga mereka, calon politikus yang tiap hari berbicara politik dan kekuasaan. Di mata mereka, contekan itu menjadi berhala yang mereka sembah-sembah setiap ujian. Pantas saja di Indonesia berkembang politik kotor. Setiap ujian calon politikus itu ’sujud’ dan ‘rukuk’ menyembah-nyembah minta contekan.

Kadang hati ini bergumam sendiri. Rasanya untuk bicara adalah seperti melempar wacana akan sebuah kesombongan dan kesok-sucian. Membuktikan bahwa tidak mencontek pun, IP bisa tinggi? Secara pribadi rasanya belum sanggup. Jadilah rangkaian tulisan ini menjadi bahan renungan bagi kita semua. Semoga semuanya merasa tersinggung dengan telinga memerah, merutuki ketololan diri masing-masing.

Kenapa mesti menggadaikan intelektualitas dan mengotori kemurniannya dengan hal-hal yang telah dianggap remeh itu. Demi sebuah jawaban A, B, C, D, atau E yang harus dibulatkan/disilang bila soalnya multiple choice. Demi sebuah keyword yang bahkan harus dikembangkan dulu bila soalnya essay. Demi sebuah sobekan kecil yang sempat diselamatkan dari pandangan pengawas. Demi bisik-bisik menggugat pantas atau tidak pantasnya soal-soal itu dikeluarkan untuk ujian.

Kita menjadi sudah calon penghuni neraka karena tidak berlaku jujur yang sejak kecil telah kita pahami benar-benar. Jadi, jangan bangga dengan IP atau IPK yang tinggi bila kita pernah sekali saja melakukan kecurangan ini. Sebab kecurangan yang kita anggap kecil itu telah menggerogoti jiwa kita yang terlalu bebal akan kejujuran. Dengan alasan kenapa dosen tega memberikan soal ujian sesulit ini? Dengan alasan mata kuliahnya memang sulit! Dengan alasan belum belajar betul-betul. Kita telah berlaku munafik. Setara Abdullah bin Ubay, gembong munafik di zaman Rasulullah. Masih mengelak?

Maka, teman. Renungilah doa Nabi Musa ini! Rabbi shrahli shadri wa yashshirli amri, wahlul uqdatan min lisani, yafqahu qauli. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku dan lancarkanlah lisanku, supaya mereka mengerti perkataanku.

Bukankan sangat indah doa yang dicontohkan oleh utusan Allah yang mulia ini? Bukankah doa itu senjata orang-orang beriman? Maka tidak perlu campurkan kebathilan dengan kebaikan. Di saat kita khusu melafalkan doa di atas ketika ujian sudah akan dimulai, mencontek masih terus kita lakukan dengan alasan mencontek itu sebuah usaha. Allah memberi kita pedoman bukan untuk sekedar dibaca, tapi untuk dipahami dan diamalkan. Itulah iman. Agar kita benar-benar yakin bahwa kita sukses menjalani ujian keteguhan dalam memegang prinsip, dan demi sebuah idealitas biarkan orang lain berkata, ”sok suci, kamu!”

Sang Pejalan, 13-14 November 2008

“Setiap orang mengerti bahasa kejujuran, hanya saja tidak semua yang bisa melakukannya!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar