Rabu, 11 Februari 2009

BERJALAN AKU

Gerimis turun sore itu
Suaranya yang gemerisik, berbisik
Menyapu telingaku, basah
Melenyapkan keheningan bersama senja diam
Tahukah engkau apa katanya?

Aku sendiri tidak tahu
Tapi biar kuceritakan kontemplasi jiwaku saat itu
Berulang kali aku katakan
Tentulah pekak sendiri telingamu mendengarnya
Mungkin inilah awal yang ingin aku maknai
Demikian berat debitnya sehingga bumi kesulitan menahan
Meresap dia ke sela-sela hitam
Apakah bertemu artesis di sana?
Biarkan dia bosan sampai akhirnya meluap jua

Maka bila engkau saksikan tingginya sudah mencapai betis
Atau bahkan setinggi atap-atap rumahmu
Terbenam bangunan yang engkau usahakan tegaknya
Langkahmu menjadi tak berpayung
Tidurmu berselimut dingin yang menggigil
Para bocah riang sendiri tak mengerti
Yang mereka tahu, kehidupan begitu berwarna
Bermain air, aduh kotornya!
Ini hanya kiriman, katamu

Berjalan aku keluar gerbang kampus
Menatap sejenak mobil-mobil yang melaju
Dari balik kacanya sampah-sampah dibuang di pinggiran
Terbayang olehku susahnya para penyapu tiap hari berkutat membersihkannya
Tapi katamu lagi, memang itu pekerjaannya

Berjalan aku di sepanjang kali yang terbentang di depan kampus
Ini airnya akan naik sampai 2 meter jika hujan tiba
Artinya, siap-siaplah bila jejak kakimu terendam
Sampai tiga hari lamanya tapak kaki dan betismu ditemani
Basah bila berjalan
Bisakah engkau bayangkan?
Kejam seperti apa Tuhan katamu?
Bukankah tembok-tembok dan jalan-jalan tak bertanah itu telah jadi saksi
Tak mungkin air merembes ke dalamnya
Bukankah sudah dikatakan oleh guru di sekolah?
Buanglah sampah pada tempatnya!”
Baik bu guru, baik pak guru
Tapi kamu lakukan juga
Hasilnya menjadi air mata bukan?
Sampah itu menyumbat saluran
Menyeruak bau kotoran di mana-mana
Barangkali bila saat banjir tiba engkau menyadari
Ini hukuman bagi makhluk yang tak peduli

Bagaimana bila satu juta rupiah denda bagi mereka itu?
Tapi negara kita adalah negara paling toleran di dunia
Sehingga bila ada yang berzina setidaknya mereka kawin saja
Dirajam itu menyiksa, tentu saja!
Tapi bukankah mayoritas kita Islam, katanya
Bagaimana hukumnya dalam agama bagi mereka ini?
Mencuri saja, Rasul kita mengancam akan memotong tangan putrinya
Maka lagi-lagi, negara kita ini sangat toleran

Berjalan aku di senja basah
Menatap cakrawala
Ada lengkung berwarna tiga macam tersenyum, amboi manisnya!
Apakah bila ada yang berkata,
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Langit itu berbohong padaku?

Ah, ini su’uzhan namanya
Aku telah melihat sampai ke tepi laut itu
Bila sore itu tak hujan tentulah berpasang-pasang manusia menyuruk terang-terangan
Sampai pada suatu hari aku menjadi benci
Hukum (benar-benar) tak tegak, doyong berderak-derak
Bila engkau saksikan, hari ini aku benar-benar tertekan oleh ulahmu itu
Ribuan tahun, zamrud itu berkilauan
Jauh sebelumnya tak pernah terjamah dan terolah
Sepertinya Tuhan begitu sayangnya pada kita
Mengapa kita membenciNya karena kemiskinan
Umat ini benar-benar sudah papa
Hamba meminta, Ya Allah
Jauhkan kami dari kefakiran
Biarkan kami tetap nikmat memandang lengkung pelangimu
Sambil berzikir mensyukuri
Sejenak langkahku terhenti
Di lampu merah itu, para bocah menyanyi
12/19/2008 4:28:56 PM

Inspirited by: Mr. Taufiq Ismail
Italic sentences mean Mr. Taufiq Ismail poem in Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar