Kamis, 05 Februari 2009

PANGGILAN SANG HIJRAH

Nidaul Khairat
Jikalau sejarah hanya sebuah cerita maka boleh jadi kita mengingatnya lantaran kita adalah generasi pewaris cerita itu. Di lembar-lembar yang demikian usang kita membalikkannya berkali-kali. Seperti kisah yang pada akhirnya akan lenyap seiring kerinduan akan dunia modern, maka sejarah menjadi tak berarti lagi. Demikianlah sejarah, ada banyak dilema sampai akhirnya kita pun mengerti mengapa harus abadi dalam diri kita.
Lalu, jikalau sejarah itu adalah peristiwa yang melekat di jiwa kita, bertumpu pada kekuatan yang maha dahsyat. Menemukannya bak zamrud yang berkilauan di seluruh dunia. Bila akhirnya sejarah itu bermashlahat dengan hidup, itu karena ada darah dan airmata yang menyertainya. Ada debu-debu perjuangan dan padang pasir yang menjadi saksi beratnya hari-hari yang dijalani.
Maka, jikalau sejarah harus tetap dikenang, kenanglah sejarah yang satu ini. Lahir dari risalah dan munculnya dalam umat yang membangkang. Sejarah yang mewajibkan kita mempelajarinya. Sejarah yang tidak ada duanya di dunia ini meski pun Hitler telah membantai Yahudi di Jerman. Tak akan tertandingi oleh apa yang terjadi di abad 19 di mana Charles Darwin memproklamirkan tentang siapa nenek moyang kita. Bahkan sejarah kita, tentang pengkhianatan yang menewaskan tujuh orang jenderal itu.
Sejarah yang satu ini benar-benar sangat berbeda karena di dalam ada cinta dan pengorbanan. Karena di saat itulah lahir gagasan berhijrah dalam konteks yang sangat mempesona. Seperti mata air yang muncul di lembah yang gersang. Laksana oase di padang pasir yang mereka lewati. Biarkan pesona itu terkumpul dalam satu sejarah.
Sejarah yang ingatannya akan kita lewati setiap tahun berganti. 1 Muharram namanya. Di sana ada ribuan makna tentang pembaharuan kehidupan. Hijrah yang mengantarkan kita sampai pada sebuah inovasi hidup, keluar dari kejahiliahan. Hijrah yang tak sekedar berpindah domisili dari tempat yang tidak aman, tapi ini adalah hijrah yang tersejarahkan. Hijrah ini adalah bahasa eksistensi dan kekuatan.
Itulah sebabnya mengapa perhitungan tahun Islam dimulai pada saat sang lelaki agung bernama Muhammad ini melakukan hijrah. Sirah Nabawiyah yang ‘belum’ tamat kita baca dan kita pahami, setidaknya menjadi suatu wacana berharga betapa pentingnya perjalanan hidup beliau. Dan hijrah merupakan titik tolak perubahan itu. Dimana seluruh aspek menyatu ajeg dan utuh. Sudah sepantasnyalah moment ini benar-benar menjadi ‘barang’ berharga yang kita sebagai umat Islam harus punyai. Bukan berarti sejarah itu harus terulang. Bukan berarti tidak meneladani bila sejarah itu tidak terulang.
Inilah yang kita punya. Moment untuk dikenang dan untuk menimbulkan semangat baru. Kalau Rasulullah dan para sahabat selalu mempunyai semangat baru setiap pagi menjelang, dan dosa-dosanya dibasuh dengan muhasabah, airmata, dan taubat, sedangkan mereka sering berada dalam berbagai bahaya yang mengancam. Sedangkan beliau dan beberapa para sahabat sudah dijamin tempat yang paling baik di syurga. Ammar bin Yasir yang diri dan keluarganya dijamin masuk syurga. Umar bin khattab yang di wajahnya kelihatan bekas aliran airmata. Abdullah bin Rawahah yang dijamin masuk surga, Bagaimana dengan kita, yang tidak ada jaminan sama sekali?
Meski, betapa lacurnya kita jika muhasabah itu hanya dilakukan sekali setahun. Ketika Hijriyah yang digit belakangnya berganti. Ketika Muharram datang, setiap kita berbisik, “Sudah Muharram lagi, sudah tahun baru lagi. Mari kita perbarui niat kita, kita tingkatkan iman kita, dan kita kembali bersemangat menyongsong kehidupan yang lebih baik.”
Tahun baru bagi kita adalah sebuah nuansa baru dan sebuah tekad untuk menjadi lebih baik. Itu visi klasik yang diusung banyak orang ketika menyambut tahun baru. Dan itu baik. Namun ketika hanya simbol-simbol yang menggambarkan semangat yang sebenarnya patut diragukan apakah memang ada atau hanya tersugesti dengan jutaan manusia yang gembira menyambutnya, tak ada lagi kebaikan di dalamnya. Hanya sebuah kemudharatan dan kesia-siaan dalam ‘merayakannya’. Bisakah kita merasakan perubahan dalam diri kita setelah satu berikutnya?
Tahun baru bagi kita adalah stimulus untuk memperbaiki diri, wahana untuk bermuhasabah dan agenda-agenda untuk mengoptimalkan kerja. Satu hal yang seharusnya terkotak dalam pikiran kita, tahun sebelumnya saya bagaimana, tahun ini saya akan berbuat apa, dan tahun besok saya mau jadi apa. Tentu saja dalam kerangka berpikir yang membangun. Jika ternyata kita hanya menikmati moment tahun baru sekedar ikut-ikutan teman atau saudara misalnya. Jangankan untuk meniatkan sebuah harapan baru yang mulia, untuk menghisab dosa dan kesalahan yang banyak saja kita tak sempat memikirkannya.
Ada semacam kontaminasi pemikiran khususnya pada umat Islam bagaimana menempatkannya dalam kerangka historis. Cara menyambutnya saja, tidak bisa dipungkiri, kita lebih gembira menyambut tahun baru Masehi (1 Januari) daripada tahun baru Islam/Hijriah (1 Muharram). Begitu meriahnya kita menyambut 1 Januari. Kita menjadi tidak sadar atau bahkan tidak tahu sama sekali sejarah tahun Masehi itu sebenarnya.
Kita pun tak pernah tahu bahwa Muharram ini sebenarnya tak hanya tahun baru. Tapi kembali menyusuri jejak Rasulullah dalam perjuangan beliau menyelamatkan kita dari kehinaan dan kebodohan. Kita telah dininabobokan musuh, bahkan secara sadar meniru budaya barat dan non-Islam. Jika Masehi yang notebenenya adalah tahunnya orang Nasrani lebih membuat kita bersemangat, dimana komitmen kita sebagai seorang muslim?
Sebenarnya kita tak harus memperdebatkan soal perbedaan ini. Sebab Rasulullah, para sahabat, para tabi’in, serta para shalifushshalih telah mengajarkan muhasabah yang dilakukan setiap hari. Namun sejarah seperti menggugah nurani kita untuk mempelajari lagi histori sebuah tahun baru. Walau bagaimana pun kita harus tetap bangga dengan Hijriyah kita.
Apakah yang telah berubah dari diri kita? Seperti apa kita memahami pentingnya ‘kejutan-kejutan rutin’ ini? Sampai dimana hasil kontemplasi panjang kita di tahun baru Hijriah ini? Sungguh hal yang sangat bodoh bila kita tidak memahami hadits Rasulullah di bawah ini:
“Sesungguhnya amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap kita akan mendapatkan balasan dari apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dia harapkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya itu menuju apa yang dia inginkan” (HR. Bukhari dan An Naisabury).
Maka, saudaraku…
Sampai dimana perjalanan kita menujuNya? Apakah kita masih butuh kompas untuk menentukan arah? Apakah masih berada di persimpangan dan bingung untuk memilih jalan yang mana yang akan ditempuh? Ataukan pandangan kita sudah kabur hingga harus meraba-raba? Kudo’akan kita semua selalu bersamaNya. Bersama hijrah yang menentukan eksistensi.

Ditulis pada tanggal 12 Januari 2007 Diselesaikan pada tanggal 19 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar